Gibran tak tertarik dengan bisnis mebel yang sudah dirintis Jokowi.
Meski tak punya latar tata boga, Gibran tetap ingin berbisnis makanan.
Sukasukaka,Tak seperti biasa. Muka Gibran bersungut-sungut pagi itu. Raut anak
sulung Joko Widodo itu tak secerah sang bapak yang kala itu akan
dilantik jadi Presiden Indonesia. Di hadapan para wartawan, dia
menggugat. Tak terima pernah disebut `anak haram` oleh media tertentu.
Memang,
selama kampanye pemilihan presiden Juli yang lalu, berbagai informasi
berseliweran. Beberapa di antaranya bahkan menyudutkan pribadi dan
keluarga kandidat. Termasuk keluarga Jokowi.
Pagi itu, Senin 20
Oktober, pemuda bernama lengkap Gibran Rakabuming Raka itu diperkenalkan
di depan awak media oleh Jokowi. Selain anak tertua itu, Jokowi juga
memperkenalkan istrinya, iriana, serta dua anak lainnya, Kahiyang Ayu
dan Kaesang Pangarep.
Gibran memang jarang terlihat bersama sang
ayah. Baik saat berkampanye menjelang pemilihan Gubernur DKI Jakarta
maupun menjelang pemilihan Presiden yang lalu. Pemuda kelahiran Solo, 1
Oktober 1988 itu, sibuk mengurusi bisnis kateringnya, Chilli Pari
Catering Service.
Sejak lulus sekolah dasar, Gibran memang sudah
hidup terpisah dari orangtuanya. Sejak SMP, dia tinggal di Singapura.
Dia menempuh pendidikan setingkat SMA di Orchid Park Secondary School,
Singapura, pada tahun 2002. Dia kemudian melanjutkan pendidikan di
Management Development Institute of Singapore (MDIS). Setelah lulus pada
2007, dia pindah ke Australia untuk belajar di University of Technology
Insearch, Sydney, Australia.
Saat masih kuliah, Gibran mulai
tertarik dengan bisnis tata boga. Namun keluarga tak mendukung. Dia
justru disarankan meneruskan usaha keluarga yang dirintis Jokowi.
Menjadi pengusaha mebel. Apalagi pendidikannya tak ada sangkut pautnya
sama dengan urusan kuliner.
Tapi Gibran tak tertarik dengan
bisnis mebel. Meski tak punya latar tata boga, Gibran tetap ingin
berbisnis makanan. Satu yang dia pegang. Prospek bisnis ini sangat
cerah. Potensinya di Solo besar. Sehingga, setelah lulus kuliah pada
2010, dia nekat membuka katering kecil-kecilan. Gudang mebel sang ayah
disulapnya menjadi kantor dan dapur.
Berdirilah usaha Chilli Pari
Catering Service itu. Nama itu tak asal dipilih. Gibran
mempertimbangkan nama itu secara filosofi. Chilli berarti cabai. Warna
merahnya menggambarkan keberanian. Sementara Pari yang dalam bahasa
Indonesia berarti padi menggambarkan kemakmuran. Bagi Gibran, nama
Chilli Pari berarti keberanian untuk lepas dari bayang-bayang orangtua.
Meski
keluarganya sudah mapan, Gibran tak meminta modal ke orangtua. Dia
sebar tujuh proposal pinjaman dana. Namun hanya satu yang membuahkan
hasil. Uang Rp 1 miliar dari satu proposal itulah yang dijadikan modal
untuk membangun bisnis katering pada 2010 itu.
Tak mudah bagi
Gibran untuk menjalankan usaha katering ini. Maklum, dia tak mau
menebeng nama besar sang ayah yang pernah menjadi walikota Solo. Dia
memilih merangkak dari bawah. Menggunakan keringatnya sendiri untuk
membesarkan usaha ini. Awalnya, Gibran hanya mempekerjakan belasan
orang. Namun sejak Januari 2011, perusahaan katering ini sudah memakai
tenaga ratusan orang.
Bisnis katering ini dengan cepat tumbuh.
Sebuah terobosan dia lakukan. Tak melulu menyediakan menu makanan khas
Solo. Menu-menu andalan dari Jawa, Jepang, dan bahkan dari negara Barat,
dia sajikan. Nama Chilli Pari pun semakin berkibar. Dan kini, Gibran
tercatat sebagai Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa Boga Indonesia (APJBI)
Kota Solo. (Ism)
0 komentar:
Posting Komentar